Ulama
Ahli Fiqih biasanya menyebutkan pembahasan jual belu (buyu’) setelah pembahasan ibadah
(hubungan interaksi antara makhluk dengan Al-Khaaliq, Alah ta’ala); dan jual beli adalah permulaan
bagi pembahasan tentang mu’amalat
(hubungan interaksi sesama manusia). Sebagaimana dapat diamati dalam setiap
kitab-kitab fiqih, bahwa susunan para ulama fiqih – semoga Allah merahmati
mereka – dalam penulisan kitab mereka adalah dimulai dengan pembahasan tentang
ibadat (peribadatan), dan ibadah
dimulai dengan shalat, dan kuncinya adalah thaharah (bersuci). Kemudian setelah
pembahasan tentang ibadah, dilanjutkan dengn pembahasan jual-beli. Yang demikian
itu karena pada jual-beli tergantung kemaslahatan badan manusia, dan itu adalah
hal primer dalam kelangsungan hidup manusia. Kemudian setelah jual-beli
dilanjutkan dengan pembahasan hukum pernikahan, karena (biasanya) setelah
manusia makan, minum, dan mendapatkan kecukupan gizi, ia akan memerlukan kepada
tempat melampiaskan kebutuhan
biologisnya, yaitu melalui proses yang disebut dengan pernikahan. Dan setelah
pembahasan tentang hukum pernikahan, para ulama fiqih membahas hukum qishash dan yang berhubungan
dengannya,[1]
(yang disebut hukum pidana).[2]
Definisi
Jual Beli
Beraneka
ragam definisi ulama fiqih tentang kata (الْبَيْعُ) “Jual-Beli”. Berikut ini akan dibawakan salah satu definisi
tersebut : “Jual-beli adalah proses tukar-menukar
harta, atau suatu manfaat/jasa yang halal ditukar dengan hal yang serupa
dengannya untuk masa yang tak terbatas, dengan cara-cara yang
dibenarkan”.[3]
Ini
adalah definisi jual-beli dalam istilah ilmu fiqih, dan kata (الْبَيْعُ/jual-beli) secara ilmu etimologi bahasa Arab memiliki definisi
yang lebih umum dibandingkan dengan definisinya secara terminology. Demikian
juga halnya setiap istilah yang memiliki penafsiran secara etimologi dan
penafsiran secara syari’at/terminology. Biasanya penafsiran secara etimologi
lebih luas bila dibanding dengan penafsiran secara terminology dalam ilmu
syari’at. Misalnya kata (الصَّلاةُ). Shalat secara bahasa bermakna doa, akan tetapi dalam syari’at
kata tersebut mempunyai definisi yang lain, yaitu : “Suatu amalan ibadah yang
dimulai dengan takbiratul-ihram dan
diakhiri dengan salam dan disertai dengan niat beribadah kepada Allah”. Dengan
demikian, arti kata shalat menurut definisi etimologi lebih luas dibandingkan
dengan definisinya secara terminology.
Hal
ini terjadi pada kebanyakan istilah-istilah dalam syari’at, kecuali dalam
beberapa kata, misalnya kata “iman”. Kata iman menurut definisi dalam ilmu
etimologi hanya berada dalam hati, karena iman artinya adalah pengakuan hati
akan sesuatu hal. Akan tetapi kata iman dalam pengertian syari’at lebih umum,
karena mencakup ucapan lisan, amalan anggota badan, dan pengakuan hati. Dan ini
jarang terjadi, karena umumnya definisi secara etimologi lebih luas dibandingkan
definisi menurut terminology.
Bila
demikian halnya, definisi kata (الْبَيْعُ/jual-beli) secara etimologi lebih luas dbanding definisinya
secara terminology. Secara etimologi kata (الْبَيْعُ) definisinya adalah mengambil sesuatu dan menyerahkan sesuatu,
walaupun pengambilan dan penyerahan tersebut dalam rangka peminjaman atau
penitipan, karena kata (الْبَيْعُ) berasal dari kata (اَلْبَاعَ/lengan) dimana pada proses jual-beli, masing-masing pelakunya
menjulurkan lengannya kepada yang lain.
Pada
definisi jual-beli dinyatakan : “Proses
tukar-menukar harta”. Yang dimaksud dengan harta adalah setiap
benda yang manfaatnya halal walaupun tanpa ada keperluan[4],
sehingga termasuk di dalamnya : emas, perak, gandum, garam, beras, kendaraan,
bejana, buku, properti, dan lain-lain yang memiliki kemanfaatan, dan
kemanfaatannya tersebut dihalalkan dalam syari’at.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa setiap benda yang tidak ada manfaatnya, misalnya
serangga; atau pemanfaatannya diharamkan, misalnya peralatan musik, babi, khamr;
tidak dapat dikatagorikan sebagai harta. Nahkan wajib untuk dimusnahkan, sebagai
wujud dari inkarul-munkar.
عَن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ سَأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَيْتَامٍ وَرِثُوا خَمْرًا ؟
قَالَ : أَهْرِقْهَا. قَالَ : أَفَلَا أَجْعَلُهَا خَلَّا. قَالَ : لَا.
رواه أبو داود والترمذي وحسنه الألباني
Dari
Anas bin Maalik : Bahwasannya Abu Thalhah pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang
anak yatim yang mendapat warisan khamr. Beliau bersabda : “Tumpahkanlah (buanglah)”. Abu Thalhah
kembali bertanya : “Apa tidak lebih baik bila saya membuatnya menjadi cuka ?”.
Beliau menjawab : “Tidak” [HR. Abu
Dawud dan At-Tirmidzi; dihasankan oleh Al-Albani].
Dan
pada definisi harta, dikatakan juga : “Halal walau tanpa ada keperluan”. Catatan
ini guna membedakan benda yang manfaatnya dibolehkan dalam keadaan tertentu atau
karena dalam keadaan darurat, misalnya : Bangkai boleh untuk dimakan ketika
dalam keadaan darurat, seperti ketika ada orang kelaparan dan tidak ada suatu
benda halal yang dapat dimakan guna menjaga kelangsungan hidupnya selain
bangkai, maka pada waktu itu ia boleh memakannya. Allah ta’ala telah berfirman
:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”
[QS. Al-Baqarah : 173].
Anjing
buruan adalah benda yang manfaatnya dihalalkan, akan tetapi dihalalkan karena
sebab tertentu dan di kala ada keperluan. Oleh karena itu, pemanfaat anjing ini
dibatasi dengan batasan tertentu.
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ
فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيْرَاطَانِ. رواه البخاري ومسلم
“Barangsiapa
yang memelihara anjing selain anjing untuk berburu dan menjaga tanaman, maka
sesungguhnya akan berkurang pahalanya setiap hari dua qirath (=qirath adalah
ukuran sebesar gunung Uhud)”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dengan
demikian jelaslah sekarang bagi kita apa itu yang dimaksud dengan harta pada
pembahasan ini, yaitu : “Setiap benda yang pemanfaatannya halal walau tanpa ada
keperluan”.
Demikian
juga halnya dengan kemanfaatan suatu benda. Kita tidak dibenarkan menjual
kemanfaatan suatu benda yang diharamkan syari’at, misalnya : Ia membeli dari
seseorang jasa pemnafaatan alat musik, dengan berkata kepada pemilik alat
tersebut : “Juallah kepadaku jasa pemanfaatan alat ini”. Atau dengan mengatakan
: “Saya bersedia membeli jasa penggunaan alat musik ini seharga Rp 500.000,00”.
Dan kemudian dijawab oleh pemiliknya : “Ya, saya jual ijin penggunaannya kepada
Anda”. Transaksi ini haram hukumnya, karena kegunaan alat ini diharamkan,
sebagaimana sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam berikut ini :
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ
عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ. رواه أحمد و أبو داود وابن حبان وصححه ابن حبان
“Sesungguhnya
bila Allah mengharamkan atas sesuatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia
mengharamkan pula atas mereka hasil penjualannya”
[HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban].
Dan
dari definisi jual beli di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa harta yang dapat
diperjualbelikan ada dua macam, yaitu :
a.
Harta
benda
b.
Jasa/kemanfaatan
suatu benda
Pada
definisi di atas, dikatakan : “Untuk masa yang tak
terbatas”. Guna membedakan jual-beli dari sewa-menyewa (الْإِجَارَةُ), karena tidak diragukan lagi bahwa pada transaksi sewa-menyewa
terjadi proses tukar-menukar, sehingga bila Anda menyewa suatu rumah dengan uang
sewa sebesar Rp 1.000.000,00 maka pada transaksi ini Anda telah menyewa rumah
tersebut, dan bukan membelinya, karena akadnya dibatasi dengan tempo waktu
tertentu, dan tidak untuk selama-lamanya.
Dengan
demiian, transaksi jual-beli harus berlaku untuk selama-lamanya. Oleh karena
itu, bila ada yang berkata : “Saya jual rumah ini kepada Anda selama satu tahun
dengan harga Rp 2.000.000,00” , maka traksaksi ini tidak sah sebagai jual-beli,
karena tidak untuk selama-lamanya. Namun apakah kemudian transaksi ini tetap
dihukumi sah, akan tetapi dalam format sewa-menyewa ? Sebagaimana pembahasan
dalam kaedah ilmu fiqih :
هَلْ اَلْعِبْرَةُ بِصِيَغِ الْعُقُوْدِ أَوْ بِمَعَانِيْهَا
؟
“Apakah
yang menjadi pedoman adalah teks ketika menjalankan akad atau kandungannya ?”.[5]
Pendapat
yang benar, transaksi ini sah namun dalam format
sewa-menyewa.
Pada
definisi jual-beli di atas dikatakan juga : “Dengan cara-cara yang dibenarkan”.
Guna membedakannya dari piutang dan praktek riba. Hal ini karena Allah ta’ala telah menjadikan praktek riba
sebagai lawan dari jual-beli, dan lawan suatu hal pasti tidak termasuk bagian
darinya. Allah ta’ala berfirman
:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
[QS. Al-Baqarah : 275].
Jadi
praktek riba tidak dianggap sebagai transaksi jual-beli, sebab pada praktek ini
tidak terjadi tukar-menukar dalam satu majelis, walaupun secara sekilas terjadi
proses tukar-menukar. Oleh karena itu, orang-orang musyrikin menyamakannya
dengan jual-beli, dan anggapan ini kemudian dibantah oleh Allah ta’ala.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin berkata : “Bila ada yang bertanya : Apa yang
menjadikan transaksi riba tidak dikatagorikan sebagai jual-beli, padahal pada
transaksi riba terjadi pula proses tukar-menukar ?.
Maka
jawabannya adalah : Yang membedakannya dari jual-beli adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya
setiap amalan itu disertai dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan”.[6]
Apa
niat/maksud orang yang memberikan piutang ? Apakah ia bertujuan tukar-menukar
dan berdagang ataukah tujuannya hanya sekedar menolong ? Tentu jawabannya adalah
yang kedua, yaitu menolong. Dan karena tujuan awalnya adalah menolong, maka ia
menyelisihi perilaku rentenir, karena dasar utama dalam praktek riba adalah
tindak kedhaliman dan aniaya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala :
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui”
[QS. Al-Baqarah : 279].
Dengan
demikian, tujuan piutang berlawanan dengan tujuan praktek riba (renten). Oleh
karena itu, piutang tidak dikatagorikan ke dalam jual-beli”.[7]
[selesai –
dikutip dari buku Sifat Perdagangan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam oleh
Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, hal.
51-58; Pustaka Darul-Ilmi, Cet. 1/1429 – dengan sedikit
perubahan].
Sumber : Abul Jauzaa'
[1]
Disadur dari kitab Asy-Syarhul-Mumti’, oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 8/104, dengan sedikit
perubahan.
[2]
Karena seringkali bila manusia telah
kenyang, dan terpenuhi kebutuhan biologisnya, akan terjadi sikap melampaui
batas, dan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, suatu tindakan yang
disebabkan oleh godaan setan dan sikap menuruti tuntunan jiwa yang buruk. Bahkan
tidak jarang kejadian ini terjadi di saat proses pemenuhan kebutuhan makan dan
minum yang diupayakan melalui perdagangan, dan juga pemenuhan terhadap kebutuhan
biologis.
[3]
Silakan baca kitab Kifayatul-Akhyar oleh Taqiyuddin
Al-Khisni, 1/239; Mughnil-Muhtaj oleh
Asy-Syarbini, 2/2; dan Asy-Syarhul-Mumti’, 8/107-dan
seterusnya.
[4]
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Asy-Syarhul-Mumti’,
8/107-108.
[5]
Yang lebih kuat adalah pendapat yang
menyatakan bahwa yang menjadi pedoman dalam menghukumi suatu akad adalah maksud
dan maknanya, bukan sekedar lahir dari kata-kata yang diucapkan oleh pelaku
transaksi tersebut. Yang ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang
kaedah ini, silakan baca kitab Al-Fataawaa Al-Kubraa oleh Ibnu
Taimiyyah, 6/31-dst.; I’lamul-Muwaqqi’iin oleh Ibnul-Qayyim,
3/98-dst.; Al-Mantsur oleh
Az-Zarkasyi, 2/371; dan Al-Asybah
wan-Nadhaair oleh As-Suyuthi, hal. 166.
[6]
Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari
hadits shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu
‘anhu.
[7]
Asy-Syarhul-Mumti’,
8/112-113.
0 comments :
Posting Komentar